LANI
DI TENGAH KEMEGAHAN SEREN TAUN
7 november 2012, atau 22
Rayagung, ribuan mata terbuai dengan keindahan liak liuk pinggul dan dada penari
Buyung. Bersamaan dengan itu, matahari juga tersenyum ketika perjalannnya
menuju ufuk barat disambut dengan kesyahduan suara gamelan sunda.
Sementara diatas kursi,
yang tertata di ujung panggung bambu, para pemuka menghabiskan kegembiraannya.
Mereka benar-benar menikmanti kemolekan tubuh dan eksoterik gerakan para penari
Buyung. Tarian anak-anak dan angkung buncis pun menambah kelengkapan rasa
kegembiraan para pemuka.
Tidak kalah dengan mereka,
Lani Alviani, demikian nama lengkap gadis muda asal kelurahan Cigugur,
Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan juga ikut tersenyum, tertawa bahkan bertepuk
tangan. Tetapi tawa dan semyum Lani, ditengah kemegahan dan keramaian seren
taun, berbeda dengan senyum matahari dan
para pemuka. Senyum dan Tawa Lani adalah senyum di balik beban hidup yang kian
hari kian menyesakkan dada.
Mengapa demikian ? Lani
adalah salah satu dari 29.000 penduduk kabupaten Kuningan yang dirundung
kesusahan dalam mencari kerja. Ia dicatat sebagai manusia yang hidup di lingkaran
keluarga miskin. Atau bahkan Lani adalah
salah satu gadis muda yang belum tercantum dalam angka statistic pemerintah
Kabupaten Kuningan pada tahun 2010 sebagai pengangguran. Tetapi yang pasti
adalah Lani menjadi korban dari proses dehumanisasi dan pemiskinan.
Boleh jadi, ada orang yang
mengatakan bahwa itu takdir sang pencipta. Tetapi banyak orang yang mengatakan
bahwa kemiskinan yang mengungkung Lani akibat inhern dalam diri Lani sendiri. Bagi
ilmuan social, terutama para penganut ilmu social paradigma modernisasi,
percaya bahwa rendahnya latar belakang pendidikan Lani, sikap mental atau
budaya yang tidak membangun, ataupun persoalan moral dan mental yang tidak
kreatif bahkan pilihan teologi yang fatalistic dianggap menjadi penyebab
kemiskinan Lani. Singkatnya, penganut ilmu social “mainstream” memandang
Lani sebagai sosok gadis yang tidak kreatif, berpendidikan rendah, kurang
pandai dan pemalas. Sehingga dia harus memikul beban kemiskinan.
Jika benar demikian, maka
ringikan kuda pada helar budaya rasanya mengisyaratkan kita tentang sulitnya
menerima argument ini. Betapa tidak, mulut dan hidung kuda diikat dengan tali.
Ia di tarik dan di hentak-hentakkan sikusir kuda. Sedangkan tubunya di kunci
dengan kayu yang di balut menjadi kereta. sesungguhnya kuda dapat lari dengan
bebas tanpa harus memulai dengan ringikan, tetapi system yang membelenggunya
membuat dia harus menanggung beban para penumpang kereta.
Lani hidup dalam sebuah
system yang sangaja di desain agar dia tetap menanggung beban kemiskinannya.
Jadi, kalau menurut ilmuan social yang berbeda dengan paradigm ‘mainstrem”,
dehumanisasi dan pemiskinan yang terjadi pada diri Lani merupakan akibat dari
system dan relasi social, ekonomi dan politik yang tidak manusiawi dan tidak
adil. Ini artinya sangat erat kaitannya dengan kebijakan Negara dan kebijakan
system politik ekonomi baik tingkat local, nasional, regional bahkan tingkat
global.
Bagi Lani, Negara seperti
tidak ada. Sebab, ia hanya diperankan sebagai wasit yang pada kenyataannya
seringkali cenderung kepada para pemilik dana. Harusnya, Negara melindungai
anak-anak yang telah lahir di dalamnya, akan tetapi, Lani dan kaum miskin lain
dianggap bukan sebagai anak kandungnya.
Coba bayangkan. jika saja
lani merasa di temani oleh Negara, mungkin hak ijazah atas bukti telah
menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, sudah ada ditangannya. Tetapi hak itu
masih dibelenggu, lantaran dia tidak dapat menyisahkan kocek dengan nominal
yang tak ada dalam kantong ayah dan ibunya.
Lalu, bagaimana agar Lani dan
29.000 penduduk Kuningan bebas dari kemiskinan? Pertama, kita harus berani
melihat kemiskinan Lani dari prespektif lain. Caranya dengan menjauhkan diri dari
cara pandang yang menitik beratkan pada persoalan inhern Lani, apalagi dari
pemahaman secara dangkal terhadap Lani, yakni, sosok perempuan muda yang cantik
dan pantas untuk di goda. Kita harus berani melihat bahwa kemiskinan adalah
akibat dari suatu proses, kebijakan, institusi mapun mekanisme.
Kedua, mengerahkan seluruh
kekuatan politik, kebudayaan dan social movement dalam menghentikan setiap
proses dehumanisasi dan pemiskinan. Dalam
konteks kebudayaan, setidaknya, ada dua agenda penting. Pertama, membongkar
kembali konstruk budaya yang memapankan proses dehumanisasi dan pemiskinan.
Kedua, menggerakkan kebudayaan sebagai media transformasi social.
Dengan demikian, Seren
Taun bagi lani adalah jihad kaum miskin dan marjinal dalam rangka merubah
realitas social menuju tatanan social yang berkeadilan. Ia menyingkirkan segala
atribut yang memisahkan antara kaum elit dan kaum alit. Ia pun tak peduli
dengan makna tawa dan senyum yang berbeda, baginya, yang terpenting adalah
pertemanan dengan kebudayaan yang selalu menggerakkan pada perubahan social.
Sehingga, pasca kemegahan Seren Taun, ia tidak sendiri dalam menghentikan
proses dehumanisasi dan pemiskinan, melainkan tetap ditemani oleh semangat
luhur yang terkandung dalam Seren Taun itu sendiri.
Abdul
Muiz Syaerozie, Cigugur, 7 November 2012